
Entah knapa kok tiba - tiba kangen masakan Bali. salah satu makanan khas Bali adalah nasi jinggo. Nasi jinggo ini identik dengan sambelnya yang pedes. 1 porsi dari nasi jinggo ini tidaklah banyak. Hanya terdiri dari nasi, mie, ayam sisit, tempe goreng 1/4 telur dan sambel ulek. Karena porsinya yang sedikit jadi gak cukup bila kita hanya makan 1 bungkus nasi jinggo saja, paling tidak minimal 2 bungkus ditambah harganya yang berkisar antara Rp. 1500 - Rp. 2000.
Nasi jinggo yang sangat populer di denpasar muncul pertama kali di tahun 1985. Di sebuah gang kecil dekat pasar Badung dan Kumbasari, di Jalan Gajah Mada, Denpasar. Sebutan nasi jinggo yang selama ini beredar bahwa berasal dari kata "cenggo", tidak sepenuhnya benar. Hal ini merujuk pada kemunculan nasi jinggo pertama kali, sekitar tahun 1985, dengan harga Rp 500,- per bungkus. Pada tahun tersebut, bisa sampai disebut nasi jinggo karena digelar mulai tengah malam, sehingga kelompok konsumennya adalah masyarakat yang bekerja di malam hari (seperti sopir-sopir angkot di pasar, dan petugas keamanan sekitar pasar), yang mereka sebut "Jinggo" atau jagoan dalam film-film koboy. Kebetulan di era itu film-film koboy begitu populer.
Jadi klo kalian mampir ke Bali jangan lupa untuk mencicipi nasi jinggo ini di jamin bikin kalian ktagihan.

Nama Tampaksiring diambil dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu tampak (yang bermakna 'telapak ') dan siring (yang bermakna 'miring'). Menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas telapak kaki seorang Raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan sakti, tetapi bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Sebagai akibat dari tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan balatentaranya untuk menghacurkannya. Namun, Mayadenawa berlari masuk hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap agar para pengejarnya tidak mengenali bahwa jejak yang ditinggalkannya itu adalah jejak manusia, yaitu jejak Mayadenawa.
Usaha Mayadenawa gagal. Akhirnya ia ditangkap oleh para pengejarnya. Namun, sebelum itu, dengan sisa-sisa kesaktiannya ia berhasil menciptakan mata air beracun yang menyebabkan banyak kematian bagi para pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air ciptannya itu. Batara Indra pun menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air beracun tersebut. Air Penawar racun itu diberi nama Tirta Empul (yang bermakna 'airsuci'). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa denagn berjalan di atas kakinya yang dimiringkan itulah wilayah ini dikenal dengan nama Tampaksiring.
Menurut riwayatnya, disalah satu sudut kawasan Istana Tampaksiring, menghadap kolam Tirta Empul di kaki bukit, dulu pernah ada bangunan peristirahatan milik Kerajaan Gianyar. Di atas lahan itulah sekarang berdiri Wisma Merdeka , yaitu bagian dari Istana Tampaksiring yang pertama kali dibangun.
Istana Kepresidenan Tampaksiring berdiri atas prakarsa Presiden I Republik Indonesia, Soekarno, sehingga dapat dikatakan Istana Kepresidenan Tampaksiring merupakan satu-satunya istana yang dibangun pada masa pemerintahan Indonesia.
Pembangunan istana dimulai taun 1957 hingga tahun 1960. Namun, dalam rangka menyongsong kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV (ASEAN Summit XIV) yang diselenggarakan pada tanggal 7-8 Oktober 2003, Istana Tampaksiring menambahkan bangunan baru berikut fasilitas - fasilitasnya, yaitu gedung untuk Konferensi dan untuk resepsi. Selain itu, istana juga merenovasi Balai Wantilan sebagai gedung pagelaran kesenian.
Istana Kepresidenan Tampaksiring dibangun secara bertahap. Arsiteknya ialah R.M Soedarsono. Yang pertama kali dibangun adalah Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira, yakni pada tahun 1957. Pembangunan berikutnya dilaksanakan tahun 1958, dan semua bangunan selesai pada tahun 1963. Selanjutnya, untuk kepentingan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV, yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 7-8 Oktober 2003, Istana dibangun gedung baru untuk Konferensi beserta fasilitas-fasilitasnya dan merenovasi Balai Wantilan. Kini Tampaksiring juga memberikan kenyamanan kepada pengunjungnya (dalam rangka kepariwisataan) dengan membangun pintu masuk tersendiri yang dilengkapi dengan Candi Bentar, Koro Agung, serta Lapangan Parkir berikut Balai Bengongnya.
Sejak dirancangnya / direncanakan, pembangunan Istana Kepresidenan Tampaksiring difungsikan untuk tempat peristirahatan bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga dan bagi tamu-tamu negara. Usai pembangunan istana ini, yang pertama berkunjung dan bermalam di istana adalah pemrakarsanya, yaitu Presiden Soekarno. Tamu Negara yang bertama kali menginap di istana ini ialah Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand, yang berkunjung ke Indonesia bersama permaisurinya, Ratu Sirikit (pada tahun 1957).
Menurut catatan, tamu-tamu negara yang pernah berkunjung ke Istana Kepresidenan Tampaksiring, antara lain adalah Presiden Ne Win dari Birma ( sekarang Myanmar), Presiden Tito dari Yugoslavia, Presiden Ho Chi Minh dari Vietnam, Perdana Menteri Nehru dari India, Perdana Menteri Khruchev dari Uni Soviet, Ratu Juliana dari Negeri Belanda, dan Kaisar Hirihito dari Jepang.

Bali is a land that seems to have a magnet at its very heart. It is a feeling that is difficult to understand unless experienced but once visited you are surely compelled to come back and you may even want to stay forever, such is its pull. Maybe its Bali’s beauty, maybe the friendly people, or maybe even the influence from spirits that certainly abide in this place.
Bali goes under many names. Some call it the ‘island of the gods’, others Shangri-La. The ‘last paradise’, the ‘dawning of the world’ and the ‘centre of the universe’ are yet more names for this truly beautiful tropical island inhabited by a remarkably artistic people who have created a dynamic society with unique arts and ceremonies.
Bali is small, just 140 Km by 80 Km and lies between Java, the most highly populated and influential of all the islands, and Lombok, one of the quieter and moderately slower paced islands. Like many islands, Bali has developed a world of its own. It not only captures what is special about Indonesia but also has a uniqueness of its own.
Daily life on Bali is culturally linked to satisfying and appeasing the gods, spirits and demons in the midst of breathtaking panoramas of cultivated rice terraces, impressive volcanoes and pristine beaches. Bali’s main volcano, Gunung Agung, is still active and sometimes explosive and is considered sacred among local people as it is believed to be the centre of the universe.
Lying just 8o south of the Equator, Bali can boast a tropical climate with just two seasons a year and an average temperature of around 28o Celsius. It has a whole range of different environments and activities for the tourist, many of which are covered in these homepages.
Economically and culturally, Bali is one of the most important islands of Indonesia. Rice is grown on irrigated, terraced hillsides; other crops include sugar cane, coffee, copra, tobacco, fruits and vegetables. Cattle and hogs are also raised. The Balinese are skilled artisans, particularly in woodcarving and in fashioning objects of tortoiseshell and of gold, silver and other metals. The Balinese are noted for their traditional dance, the distinctive music of the gamelan and for their skills in weaving cloth of gold and silver threads, Songket, as well as for embroidering silk and cotton clothing.
Bali is part of the Republic of Indonesia. It is one of the country's 33 provinces with the provincial capital in Denpasar towards the south of the island. Bali is home to a population of over 3 million, the vast majority of which are Indonesia's small Hindu minority. Bali is also the largest tourist destination in the country and is renowned for its highly developed arts, including dance, sculpture, painting, leather, metalworking and music